RAJA YANG MEMBELA RAKYAT, SRI SULTAN HB IX

Sebagai Raja Yogyakarta, sosok Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX oleh Jon Monfries, akademisi Australian National University, disebutkan sarat dengan paradoks.

Penulis buku biografi HB IX berjudul A Prince in Republic: The Life of Sultan Hamengkubuwono IX of Yogyakarta ini menyebutkan, salah satunya adalah sikap Dorojatun –nama kecil HB IX- yang sederhana.
Meskipun mengenyam pendidikan Barat dan bergaul dengan orang-orang Belanda. Dia tidak pernah tercatat menggunakan kata-kata intelek melainkan cukup dengan ungkapan-ungkapan polos dan membumi agar bisa dipahami rakyatnya.

Jon mencatat dari penelusuran di Belanda, sang calon raja dianggap sebagai seorang pelajar yang kalem dan konservatif. Dia tidak berhubungan dengan mahasiswa radikal, namun terpilih sebagai presiden organisasi mahasiwa yang 90% anggotanya mahasiswa Belanda.

Pembawaan HB IX yang kalem dan humanis, tidak menghilangkan sikap tegasnya ketika menjadi raja. Disebutkan HB IX tidak pernah gentar terhadap penjajah Belanda. “Kalau Anda mau merampas keraton, saya lebih suka mati,” kata HB IX kepada petinggi Belanda suatu kali.

HB IX diangkat menjadi raja pada 18 Maret 1940 bernama lengkap “Ngarsadalem Sampeyandalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Hing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatulah Hingkang Jumeneng kaping Sanga”.

Sebagai raja, HB IX meninggalkan sifat-sifat feodal dan tak segan keluar masuk pedesaan hingga Gunungkidul dan Kulonprogo—hal yang jarang dilakukan raja-raja pendahulunya–sehingga dia bisa dianggap sebagai pionir blusukan.

Ada peristiwa unik saat HB IX blusukan sendirian di Desa Godean, Land Rover-nya dihentikan oleh seorang perempuan penjual beras yang sudah sepuh. Dia pun menghentikan jip buatan Inggris itu ke pinggir dan segera turun.

Belum sempat mengeluarkan sepatah kata, perempuan tua itu berseru: “Niki, karung-karung beras niki diunggahake!” (Ini, karung-karung berasnya dinaikan). Rupanya, sang penjual beras yang tak mengenal wajah Sri Sultan mengira raja Jawa itu sebagai sopir angkutan beras yang biasa membawa para pedagang ke Pasar Kranggan di wilayah Kota Yogyakarta.

Tanpa banyak bicara, Sri Sultan pun mengangkat dua karung besar beras ke bagian belakang kendaraannya. Sementara itu sang penjual beras tanpa meminta izin menaiki jip dan duduk di samping Sri Sultan.
Sepanjang jalan, mereka ngobrol dengan akrabnya hingga sampai di tujuan. Tanpa diperintah, Sri Sultan pun keluar dari mobil dan dengan tangkas menurunkan karung-karung tersebut.

Begitu selesai, penjual beras itu lantas merogoh kemben usangnya dan mengeluarkan uang lembaran dan disodorkan ke Sri Sultan. Lelaki ramah itu tersenyum dan menggelengkan kepala. Disikapi seperti itu, alih-alih berterimakasih, sang penjual beras malah ngomel-ngomel, dikiranya “sang sopir” tidak mau menerima “ongkos” karena jumlah uangnya yang kurang.

Dengan sabar, Sri Sultan mengatakan,” Pun boten sisah, Mbakyu.” Artinya: tidak usah bayar, Mbak. Tanpa banyak bicara, dia lantas memacu Land Rover-nya ke arah keraton.
Kendaraan Sri Sultan sudah berlalu, namun perempuan itu tetap saja mengomel.

Tanpa disadarinya sudah lama prilakunya disaksikan banyak orang yang ada di sekitarnya. Seorang polisi lantas menghampiri penjual beras itu dan memberitahu jika “sopir” yang baru diomelinya itu adalah Ngarsa Dalem.

Bukan main kagetnya penjual beras itu. Bahkan saking kagetnya, dia lantas terhuyung-huyung dan jatuh pingsan hingga dilarikan ke RS Bethesda. Kejadian tersebut disaksikan langsung oleh SK Trimurti, istri dari Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi.

Wanita yang merupakan mantan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia itu menceritakan kejadian tersebut berlangsung pada 1946, ketika pemerintah Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Saat itu, Trimurti dari Jalan Malioboro ke utara menuju ke rumahnya di Jalan Pakuningratan (Utara Tugu).

Kejadian itu lantas berkembang dari mulut ke mulut hingga sampai ke telinga Sri Sultan. Mendengar si penjual beras yang mengomelinya itu masuk rumah sakit, dia bergegas datang untuk menengok rakyat yang selalu dijadikannya sebagai raja di hatinya.

Ketika Jepang menduduki Yogyakarta, 5 Maret 1942, untuk melindungi rakyatnya agar terhindar dari kerja paksa Romusha, HB IX memerintahkan pembuatan proyek Selokan Mataram, yang menyambungkan Sungai Progo dan Opak untuk irigasi.

Pembuatan selokan sepanjang 30.879 km melibatkan 1.289.000 orang selama 1943-1944, sehingga rakyat Yogyakarta tidak jadi korban. Proyek ini rupanya sesuai dengan rencana Jepang dalam peningkatan produksi pangan jajahannya.
Saat Jepang menyerah, Indonesia pun memproklamsikan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kemudian HB IX – Paku Alam VIII mengirim surat kawat selamat, 18 Agustus 1945.

Tanggal 19, Soekarno memberi piagam penetapan kedudukan Yogyakarta.
Diolah dari berbagai sumber:
arifkoes.wordpress.com
belanegarari.com
ugm.ac.id

Comments