KISAH RADEN RANGGA DAN NAGA BUMI

Kisah dari bumi para nata, Yogyakarta, yang akan saya narasikan kali ini setidaknya mengajarkan pada kita untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Membekali diri dengan ilmu yang banyak. Namun juga jangan lupakan satu hal, dengan ilmu itu janganlah takabur dan sombong. Sebab setinggi-tingginya ilmu yang dipunyai, masih ada yang lebih tinggi lagi. Di atas langit masih ada langit. Seorang yang berilmu hendaknya meneladani filosofi padi, kian berisi kian merunduk. Dengan demikian ilmu bisa bermanfaat bagi orang lain..


Tubuhnya terbilang kekar, dengan blangkon hitam melingkar di kepalanya. Sebagai putra Panembahan Senopati, ia biasa dipanggil Raden Ronggo. sebagaimana ayahnya, selain sangat sakti, pemuda ini pantang menggunakan senjata ketika ia berlaga. Raden Ronggo senang mengembara untuk belajar kesaktian, namun ia seringkali menggunakan kesaktiannya pada hal yang tak berguna. Kesaktiannya hanya ditunjukkan pada orang bahwa dirinya sebagai orang yang hebat. Sebagai lelaki yang amat tampan, ia juga disukai banyak perempuan

. Namun godaan setiap perempuan ditampiknya. Baginya perempuan hanya batu penghalang meraih kesaktian yang lebih tinggi.
Siang itu, Ronggo berjalan-jalan menyusuri jalanan yang banyak ditumbuhi pohon besar. Namun betapa terkejutnya orang-orang ketika tiba-tiba saja Raden Ronggo mengamuk. Dengan wajah merah padam, dicabutnya pohon besar di dekatnya. Padahal pohon besar tersebut yang menanam adalah kakeknya, Sultan Hadiwijaya, itu pun tumbang. Orang-orang berdatangan mendengar dentaman kayu besar itu.

“Arya Jipang telah menelusup ke tubuh Raden,” gumam sebagian orang yang hadir.
“Siapa yang bilang saya kerasukan?” rupanya Raden Ronggo mendengar gumaman itu.
Ditanya demikian, menunduklah orang-orang. Raden Ronggo busungkan dada, kepala mendongak. Panembahan Senapati yang mendengar kekisruhan tersebut kemudian segera menyuruh seorang prajuritnya untuk memanggil Ronggo di dekat pohon itu, kemudian sang prajurit pun menyampaikan titah Senapati.

Bukannya nurut, malah Ronggo mengadu kepalanya dengan kepala prajurit utusan ayahnya itu hingga kepala prajurit itu nyaris pecah. Lelaki tampan itu pun langsung nyelonong begitu saja ke istana, menghadap ayahnya.
“Ngger, anakku yang hebat dan sakti! Sebaiknya angger tidak selalu berbuat demikian. Orang sakti itu bukan berarti selalu memamerkan kesaktiannya. Kesaktian itu tidak untuk disalahgunakan,” kata Panembahan Senopati bijaksana.

Namun dinasehati demikian bukannya Raden Ronggo luruh. Justru sebaliknya. Ditanggapinya nasehat itu dengan hati yang marah.
“Sudah beberapa kali Ananda pamer ilmu. Pertama ketika datang seorang utusan dari Kerajaan Banten, Ananda menghajar mereka. Ketika Ananda berada di hutan Mentaok, Ananda menangkap harimau sendirian tanpa senjata. Ramanda suka punya anak yang sakti, tapi jika tidak disalahgunakan.”

“Tapi?” sahut Raden Ronggo sembari menunduk.
“Bila itu terus berlanjut, dapat membahayakan diri Ananda. Ananda bisa takabur,” Panembahan Senopati memotong.
“Di dunia ini tak ada orang yang sakti. Kau lihat gunung?” ia menunjuk keluar ke arah Gunung Merapi yang ujungnya dikelilingi asap. Ronggo mengangkat kepalanya.
“Puncak yang tertinggi ternyata bukan yang tertinggi,” lanjut Senopati.
Muka Raden Ronggo kian merah. Ia menunduk di depan ayahnya. Kemudian Senopati menjulurkan telunjuknya ke hadapan Ronggo.

“Kau lihat telunjuk ini,” Senapati mengajukan telunjuknya.
“Jika kau orang sakti, patahkan telunjuk Ramanda,” tantangnya.
Kemudian Ronggo cepat-cepat memegang telunjuk itu. Matanya menatap wajah Senopati. Keduanya saling tatap. Ronggo berusaha mematahkan telunjuk itu. Namun sia-sia. Ia pun menunduk malu di hadapan Ramanda.

“Maafkan Ananda, Ramanda,” katanya kemudian sambil menghaturkan sembah sungkem. Senopati tersenyum. Namun lelaki perkasa itu masih ragu, apakah anaknya benar-benar memohon ampun dengan ketulusan hati atau hanya pura-pura belaka? Maka disuruhnya Raden Ronggo ke tempat sepi untuk bertapa.

“Di sana Ananda bisa merenungkan nasehat-nasehat Ramanda!”
Lelaki tanggung itu tak menyahut. Kepalanya terus menunduk. Mukanya mengernyit seolah menampakkan kekecewaan atas dirinya dan Ramandanya yang telah mempermalukannya. Dengan nada lebih keras, Panembahan Senopati menyuruh anaknya itu pergi ke Kadipaten Pati. Ronggo meminta maaf kepada Ramanda. Ia pegang ibu jari kakinya. Kemudian Senopati mengibaskan kakinya. Terpentallah Ronggo hingga keluar dari pasewakan. Raden Ronggo meringis. Punggungnya seperti remuk. Ronggo tak menyangka bila Ramandanya bisa sekeras itu kepadanya.
Karena tak ada pilihan lain, Ronggo pun berkemas ke Pati di mana Adipati Wasis Jayakusuma tinggal. Beberapa prajurit menyiapkan kuda untuknya.

Setelah beberapa hari berkuda, sampailah Reden Ronggo di Kadipaten Pati. Hari masih pagi. Ia berjalan gontai hendak menemui Adipati setelah menambatkan kekang kudanya di sebuah pohon dekat Kadipaten. Dilihatnya sebuah tombak disandarkan di dinding rumah yang berlukis seekor harimau.

“Apakah di dekat tempat ini ada orang yang sakti?” seru Raden Ronggo.
Seruan itu bersahut. Lalu tangan kanan Raden Ronggo menghampiri tombak itu dan menimang-nimangnya sejenak. Bersamaan dengan itu seorang prajurit lewat. Tanpa ampun, tombak di tangan Raden Ronggo bergerak cepat dan dihunjamkannya di dadanya sendiri. Prajurit tadi terkesiap karena tombak itu tak sedikit pun melukai tubuh Raden Ronggo.
 Malahan, ujung tombak itu jadi tumpul.
“Apakah di tempat ini ada yang sakti?” serunya lagi sambil membusungkan dada.
“Ada Tuan. Beliau sekarang bertapa di sebuah pohon yang rindang.”
“Kuharap kau mengantarkanku pada orang itu.”
“I’iiya Tuan.”

Keduanya berlalu melewati sebuah pematang. Tak ada ucap selama perjalanan itu. Hanya angin yang meliuk ke lembah dan bukit-bukit. Ronggo berjalan di depan dengan gaya seorang pembesar.
Tak seberapa lama, terlihatlah sebuah pohon besar yang rindang dengan akar menghunjam kukuh ke perut bumi. Di bawahnya tampak sesosok lelaki kurus kerempeng, matanya terpejam, dan tangannya bersedekap di dada. Tubuh itu hanya tinggal tulang dan sekujur tubuhnya kotor. Rambutnya menggerai tak beraturan. Namun walau terlihat kotor, lelaki pertapa itu seperti dikelilingi butir-butir cahaya.

“Jangan mengganggu kami!!” sebuah suara berseru dari balik pohon.
Raden Ronggo sejenak melihat ke kanan dan ke kiri. Raden Ronggo pun mendekati pertapa kurus itu.
“Jangan ganggu kami!!” suara itu lagi dari balik pohon. Raden Ronggo mendongak lagi mencari-cari sumber suara itu. Namun ia tak juga menemukan si pemilik suara.
Raden Ronggo pun berpikir, jika pertapa kurus kerempeng ini saja bisa bercahaya, mengapa ia yang kekar, muda, sakti, tampan, amat disegani oleh orang banyak tidak bisa? “Tidak! Aku bisa melakukan ini semua. Aku bisa,” gumamnya. Kemudian dengan amat sombong dan congkak Raden Ronggo menemui pertapa itu.

“Tuan, kuharap Tuan tidak mengganggunya,” pinta prajurit pengantar itu.
“Tahu apa kau? Bodoh!”
“Tuan, dia sedang menjalankan amalan! Biarkan dia menyelesaikannya, Tuan!”
“Pulanglah kau prajurit, pulang!!”
“Tapi Tuan?”
“Cepat pulang!” Raden Ronggo membentak.
Prajurit itu pelan-pelan pergi dari tempat itu, namun ia selalu menoleh, ia khawatir, jangan-jangan Raden Ronggo mengganggunya. Prajurit itu terus menyusuri setapak, namun matanya tak lepas mengawasi tingkah Raden Ronggo.

Raden Ronggo memegang kepala pertapa itu. Prajurit itu terhenti. “Kuharap Tuan tidak melakukannya!” teriaknya. Namun Raden Ronggo bergeming. Ronggo pun bertanya kepada pertapa itu dari mana asalnya dan mengapa ia melakukan tapa di tempat ini? Pertapa itu tak menjawab. Ronggo pun mengulangi lagi pertanyaannya. Pertapa tetap saja diam.

Setelah sekian kali diabaikan, marahlah Raden Ronggo. Dipegangnya kepala pertapa itu lalu dengan kekuatan penuh ditelungkupkannya kepala itu hingga menyusur tanah. Pertapa itu pun mengerang. Ia mulai membuka matanya yang cekung. Tangannya memegang dadanya. Cahaya mengkilau di tubuhnya. Ronggo kaget.
“Kau telah menganiayaiku,” katanya perlahan.
“Pertapa bangsat!!!” tukas Ronggo.

Namun pertapa itu hanya menyeringai. Mulutnya berbusa. Napasnya tersengal. Detak jantungnya melambat. Raden Ronggo mendekat dengan kemarahan yang tertahan.
“Terima kasih, Ronggo. Kau telah mengantarku keluar dari dunia ini. Ha! Ha! Kau betul-betul amat sombong anak muda, sesungguhnya pada gunung yang tinggi ada gunung yang lebih tinggi lagi,” kata pertapa kurus itu.

Masih tersisa senyumnya di sisa ajal itu. Ronggo agak kaget mendengar ucapan pertapa itu barusan. Sebab ungkapan sama pernah diutarakan Ramandanya. Ronggo gemetar. Ronggo tiba-tiba berpikir, jangan-jangan pertapa itu teman seperguruan Ramandanya?
Belum sempat Ronggo bertanya lagi, pertapa kurus itu pun terkulai. Tubuh kerempeng tak bernyawa itu tiba-tiba lenyap dari hadapan Raden Ronggo. Ia moksa.

“Tunggu balasanku anak muda! Aku akan membalasmu kelak. Aku akan menjelma seekor ular.”
Ronggo tersenyum. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Kemudian Ronggo memutuskan untuk pulang ke Jogjakarta. Setiba di rumahnya, Senopati amat berang pada anak lelakinya yang sombong itu. Ronggo minta maaf pada Ramandanya, namun yang masih terpikir oleh Ronggo, kenapa Ramandanya tiba-tiba tahu kejadian itu, padahal tak seorang pun ada yang memberi tahu. Apakah ia mendapat wangsit? Atau ia punya kemampuan meneropong jarak jauh? Entahlah!
“Apa gunanya orang sakti di dunia ini jika hanya akan menimbulkan malapetaka?”
Ronggo tak menyahut. Ia hanya menunduk dan menunduk. Hingga sebuah teriakan histeris di halaman Panembahan terdengar.

 Di sana para prajurit bergelimpangan di pintu gerbang. Mengetahui keadaan yang gawat itu Panembahan Senopati dan Raden Ronggo keluar. Seekor ular raksasa pun langsung menyerang. Melihat seekor ular mengamuk, Raden Ronggo pun menyiapkan kuda-kudanya.
“Ini pasti si pertapa itu,” gumamnya.
“Bajingan!!”
Ronggo menatap Ramandanya seolah-olah mohon pamit pada lelaki tambun paruh baya itu. Ia kemudian turun dari Panembahan menuju halaman. Kini Raden Ronggo terlibat duel maut melawan ular raksasa itu. Segala tenaga dikeluarkannya. Prajurit-prajurit memperhatikan dengan seksama pertarungan dua pendekar itu. Berkali-kali serangan Raden Ronggo gagal. Malahan tubuh Ronggo kini terlilit ular raksasa sehingga Ronggo tak bisa bergerak.

“Ha! Ha! Ternyata hanya secuil kekuatannmu anak muda sombong! Ha? Hanya secuil. Ha! Ha!”
Kemudian Senapati meminta lewat batinnya agar ular itu melepaskan anaknya. Diberitahunya ular itu bahwa yang sedang dijepitnya itu anaknya, namun Senapati mengucapkan terima kasih pada ular raksasa itu karena ia telah memberi pelajaran pada anaknya.
“Kembalilah, Kawan!!” tukas Senopati.

Kemudian ular itu melepaskan Ronggo. Tubuhnya lemas. Sementara ular raksasa itu seolah tersenyum dan berpamitan pada Senapati. Mulai saat itulah Ronggo tak lagi bersikap sombong pada siapa pun

Comments