Menurut cerita turun temurun, Raden Aria Wiratanu Datar merupakan anak dari Raden Aria Wangsa Goparan yang masih keturunan Raja Sunda Galuh Mundingsari alias Banjarsari," katanya membuka pembicaraan sambil terus melangkah.
Eyang Dalem Cikundul dilahirkan sekitar tahun 1603 Masehi di Kampung Cibodas, Desa Dayeuhkolot, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang.
Pada usia delapan tahun ia dididik dan digembleng di paguron (perguruan) Islam kesultanan Cirebon dibawah pimpinan penerus Syeh Syarif Hidayatullah.
Eyang Dalem Cikundul seorang siswa teladan dan paling menonjol di antara siswa-siswa lainnya serta menguasai bidang ajaran keagamaan, keperwiraan, dan ilmu kemasyarakatan.
"Tamat di perguruan tersebut ia mendapat gelar Aria, merupakan kerabat keraton dengan kedudukan 'Ngabehi' selaku punggawa kesultanan Cirebon dengan nama khusus Ngabehi Jaya Sasana," katanya.
Lalu pada usia 23 tahun ia mendapat kepercayaan dan diangkat menjadi senopati kesultanan Cirebon sehingga mendapat gelar Raden Aria Wiratanu. "Ia lalu diberi prajurit sebanyak 300 Umpi (1.200 jiwa) dari kesultanan Cirebon," kata Acep.
Lalu setelah itu Eyang Dalem Cikundul mendapat tugas dari penerus Syeh Syarif Hidayatullah untuk mendirikan kerajaan kecil di wilayah kosong bekas wilayah Pajajaran.
Acep mengatakan sebelum mendirikan Kabupaten Cianjur ia sering berdzikir di kawasan Sagalaherang, Subang. Saat berangkat ia hanya diberi petunjuk untuk mendirikan kerajaan di kawasan selatan sebelah barat.
Petunjuk lainnya adalah wilayah yang harus dijadikan kerajaan itu sering dijadikan tempat mandi hewan badak berwarna putih. "Kini sumur tempat mandi hewan badak putih masih ada di dekat pegadaian," katanya.
Acep melanjutkan ceritanya, setelah mendapat petunjuk tersebut Eyang Dalem Cikundul akhirnya menemukan tempat pemandian badak putih. Lalu ia membawa pasukan dan sekitar 500 keluarga ke tempat tersebut.
Dalam perjalanan membawa pasukan, ada beberapa nama yang hingga kini masih dipakai nama wilayah di Cianjur, di antaranya Muka yang berarti Eyang Dalem Cikundul bersama pasukannya mulai membuka wilayah Cianjur, Rancabali saat menemukan kawasan rawa lalu pasukan balik lagi,
Sayang Heulang di mana pepohonan tinggi dan banyak tempat burung Elang menetap, Salakopi dimana para pasukannya bersama keluarga memetik biji kopi sebagai perbekalan, dan pamoyanan tempat berjemur.
Sekitar tahun 1691-1692 Masehi berdirilah secara resmi negeri Kerajaan Cianjur yang merdeka dan berdaulat penuh, dipimpin Raden Aria Wiratanu Datar.
Ia diberi tugas menyebarkan agama Islam di wilayah Cianjur, Sukabumi, dan sebagian wilayah Bogor.
Memasuki usia lanjut kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya yang bernama raden Aria Wiramanggala yang bergelar Raden Aria Wiratanu Datar Tarikolot.
Di masa usia lanjutnya Eyang Dalem Cikundul berangkat menuju arah Utara lalu mendirikan perguruan Islam di wilayah Cikalongkulon.
Tahun 1692-1695 Masehi Eyang Dalem Cikundul tutup usia dan kemudian disemayamkan di bukit pasir Gajah, Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon.
"Ada ciri-ciri yang saya dengar tentang Eyang Dalem Cikundul, sejak kecil sekitar umur tiga tahun ia mempunyai kegemaran naik ke atas bukit dan menghadap ke arah kiblat seolah-olah merenung dengan mata yang menerawang.
Gaung suaranya sangat terkenal sekalipun berbisik maka dapat didengar oleh orang yang dipanggil," katanya.
Acep menutup cerita dengan kisah Eyang Dalem Cikundul yang sempat beristri bangsa Jin saat bertafakur di Sagala Herang selama 40 hari.
"Eyang diperistri Nyai Tina Dewisrina yang merupakan wujud dari tiga Jin bernama Arum Wangi, Arum Endah, dan Arum Sari putri dari Raja Jin Islam Syeh Zubaedi di negeri Batu Agung, Tengger Agung, Sagala Herang, Subang," katanya.
Dari Nyai Tina Dewisrina Eyang Dalem Cikundul mendapat tiga putera yakni Raden Suryakencana yang dititipkan di Gunung Gede, Raden Sukaesih Carancang Kancana yang dititipkan di Gunung Ciremai, dan Raden Andaka Wirusajagat yang dititipkan di Gunung Kumbang, Karawang.
"Untuk menghormati Raden Suryakencana dari Gunung Gede hingga saat ini sering digelar kuda kosong jika masuk ke hari jadi Cianjur. Ia dikenal sebagai penjaga Kabupaten Cianjur.
Tak heran meski kudanya kosong tapi selalu terlihat kelelahan, beberapa keturunan Eyang saja yang masih bisa menghadirkan Raden Suryakencana yang masih keturunan Jin Islam," katanya.(fam)
Eyang Dalem Cikundul dilahirkan sekitar tahun 1603 Masehi di Kampung Cibodas, Desa Dayeuhkolot, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang.
Pada usia delapan tahun ia dididik dan digembleng di paguron (perguruan) Islam kesultanan Cirebon dibawah pimpinan penerus Syeh Syarif Hidayatullah.
Eyang Dalem Cikundul seorang siswa teladan dan paling menonjol di antara siswa-siswa lainnya serta menguasai bidang ajaran keagamaan, keperwiraan, dan ilmu kemasyarakatan.
"Tamat di perguruan tersebut ia mendapat gelar Aria, merupakan kerabat keraton dengan kedudukan 'Ngabehi' selaku punggawa kesultanan Cirebon dengan nama khusus Ngabehi Jaya Sasana," katanya.
Lalu pada usia 23 tahun ia mendapat kepercayaan dan diangkat menjadi senopati kesultanan Cirebon sehingga mendapat gelar Raden Aria Wiratanu. "Ia lalu diberi prajurit sebanyak 300 Umpi (1.200 jiwa) dari kesultanan Cirebon," kata Acep.
Lalu setelah itu Eyang Dalem Cikundul mendapat tugas dari penerus Syeh Syarif Hidayatullah untuk mendirikan kerajaan kecil di wilayah kosong bekas wilayah Pajajaran.
Acep mengatakan sebelum mendirikan Kabupaten Cianjur ia sering berdzikir di kawasan Sagalaherang, Subang. Saat berangkat ia hanya diberi petunjuk untuk mendirikan kerajaan di kawasan selatan sebelah barat.
Petunjuk lainnya adalah wilayah yang harus dijadikan kerajaan itu sering dijadikan tempat mandi hewan badak berwarna putih. "Kini sumur tempat mandi hewan badak putih masih ada di dekat pegadaian," katanya.
Acep melanjutkan ceritanya, setelah mendapat petunjuk tersebut Eyang Dalem Cikundul akhirnya menemukan tempat pemandian badak putih. Lalu ia membawa pasukan dan sekitar 500 keluarga ke tempat tersebut.
Dalam perjalanan membawa pasukan, ada beberapa nama yang hingga kini masih dipakai nama wilayah di Cianjur, di antaranya Muka yang berarti Eyang Dalem Cikundul bersama pasukannya mulai membuka wilayah Cianjur, Rancabali saat menemukan kawasan rawa lalu pasukan balik lagi,
Sayang Heulang di mana pepohonan tinggi dan banyak tempat burung Elang menetap, Salakopi dimana para pasukannya bersama keluarga memetik biji kopi sebagai perbekalan, dan pamoyanan tempat berjemur.
Sekitar tahun 1691-1692 Masehi berdirilah secara resmi negeri Kerajaan Cianjur yang merdeka dan berdaulat penuh, dipimpin Raden Aria Wiratanu Datar.
Ia diberi tugas menyebarkan agama Islam di wilayah Cianjur, Sukabumi, dan sebagian wilayah Bogor.
Memasuki usia lanjut kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya yang bernama raden Aria Wiramanggala yang bergelar Raden Aria Wiratanu Datar Tarikolot.
Di masa usia lanjutnya Eyang Dalem Cikundul berangkat menuju arah Utara lalu mendirikan perguruan Islam di wilayah Cikalongkulon.
Tahun 1692-1695 Masehi Eyang Dalem Cikundul tutup usia dan kemudian disemayamkan di bukit pasir Gajah, Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon.
"Ada ciri-ciri yang saya dengar tentang Eyang Dalem Cikundul, sejak kecil sekitar umur tiga tahun ia mempunyai kegemaran naik ke atas bukit dan menghadap ke arah kiblat seolah-olah merenung dengan mata yang menerawang.
Gaung suaranya sangat terkenal sekalipun berbisik maka dapat didengar oleh orang yang dipanggil," katanya.
Acep menutup cerita dengan kisah Eyang Dalem Cikundul yang sempat beristri bangsa Jin saat bertafakur di Sagala Herang selama 40 hari.
"Eyang diperistri Nyai Tina Dewisrina yang merupakan wujud dari tiga Jin bernama Arum Wangi, Arum Endah, dan Arum Sari putri dari Raja Jin Islam Syeh Zubaedi di negeri Batu Agung, Tengger Agung, Sagala Herang, Subang," katanya.
Dari Nyai Tina Dewisrina Eyang Dalem Cikundul mendapat tiga putera yakni Raden Suryakencana yang dititipkan di Gunung Gede, Raden Sukaesih Carancang Kancana yang dititipkan di Gunung Ciremai, dan Raden Andaka Wirusajagat yang dititipkan di Gunung Kumbang, Karawang.
"Untuk menghormati Raden Suryakencana dari Gunung Gede hingga saat ini sering digelar kuda kosong jika masuk ke hari jadi Cianjur. Ia dikenal sebagai penjaga Kabupaten Cianjur.
Tak heran meski kudanya kosong tapi selalu terlihat kelelahan, beberapa keturunan Eyang saja yang masih bisa menghadirkan Raden Suryakencana yang masih keturunan Jin Islam," katanya.(fam)
Comments
Post a Comment