Menurut nara sumber dari Ngliman bahwa di pintu depan makam Ki Ageng Ngaliman terdapat gambar bintang, kinjeng, ketonggeng, burung dan bunga teratai.
Gambar-gambar tersebut kemungkinan menunjukkan makna tersendiri, namun sampai saat ini penulis belum bisa mengungkapkannya, Ki Ageng Ngaliman berasal dari Solo Jawa Tengah.
Ketika Surakarta digempur oleh Belanda, maka oleh Nur Ngaliman yang pada waktu itu menjabat sebagai Senopati Keraton Surakarta dengan sebutan Senopati Suroyudo, Keraton Surakarta dikocor secara melingkar dengan air kendi.
Akibat dari tindakan tersebut kendaraan pasukan Belanda luluh, waktu masuk keraton seperti masuk sarang angkrang, akhirnya beliau ditemui oleh Nabi Khidir agar menemui sanak saudaranya yang ada di Karang Kedawang Trowulan Mojokerto.
Ki Ageng Ngaliman masih keturunan Arab dan mempunyai anak sebanyak 21 orang, keterangan ini diperoleh dari salah satu keturunan Ki Ageng Ngaliman yang bernama KH. Huseini Ilyas.
Perang di Solo tersebut melibatkan kaum Cina yang dikenal dengan sebutan Perang Gianti pada sekitar tahun + 1720 M.
Silsilah Ki Aageng Ngaliman menurut KH. Huseini Ilyas adalah Ronggowarsito
Perjuangan tersebut ditujukan guna memerangi Pemerintah Belanda yang sedang ikut mengendalikan pemerintahan di Kasultanan Surakarta.
Dasar pemikiran yang melatarbelakangi hijrahnya Ki Ageng Ngaliman dari Solo ke Nganjuk adalah karena Nganjuk merupakan wilayah Kasultanan Mataram sehingga juga berguna untuk menghindari kecurigaan maka Ki Ageng Ngaliman melatih prajuritnya menetap di daerah Nganjuk yang merupakan wilayah kasultanan Mataram.
Sehingga terjadilah kepercayaan bahwa siapa saja yang menyebut nama Kyai Ageng Ngaliman akan mati dimakan binatang buas sebab memang beliau dirahasiakan namanya agar supaya tidak diketahui oleh Kasultanan Solo.
Gambar-gambar tersebut kemungkinan menunjukkan makna tersendiri, namun sampai saat ini penulis belum bisa mengungkapkannya, Ki Ageng Ngaliman berasal dari Solo Jawa Tengah.
Ketika Surakarta digempur oleh Belanda, maka oleh Nur Ngaliman yang pada waktu itu menjabat sebagai Senopati Keraton Surakarta dengan sebutan Senopati Suroyudo, Keraton Surakarta dikocor secara melingkar dengan air kendi.
Akibat dari tindakan tersebut kendaraan pasukan Belanda luluh, waktu masuk keraton seperti masuk sarang angkrang, akhirnya beliau ditemui oleh Nabi Khidir agar menemui sanak saudaranya yang ada di Karang Kedawang Trowulan Mojokerto.
Ki Ageng Ngaliman masih keturunan Arab dan mempunyai anak sebanyak 21 orang, keterangan ini diperoleh dari salah satu keturunan Ki Ageng Ngaliman yang bernama KH. Huseini Ilyas.
Perang di Solo tersebut melibatkan kaum Cina yang dikenal dengan sebutan Perang Gianti pada sekitar tahun + 1720 M.
Silsilah Ki Aageng Ngaliman menurut KH. Huseini Ilyas adalah Ronggowarsito
Nur Fatah
Nur Ibrahim
Syeh Yassin Surakarta
Nur Ngaliman/Senopati Suroyudo
Musyiah
Ilyas
KH. Huseini Ilyas (Trowulan Mojokerto)Perjalanan Hidupnya KH. Qolyubi tokoh ulama asal Kelurahan Mangundikaran itu berpendapat bahwa aktifitas yang dilakukan Ki Ageng Ngaliman adalah untuk mempersiapkan perjuangan melawan Belanda dengan diadakannya pelatihan fisik dan mental yang bertempat di Padepokan yang sampai saat ini disebut Sedepok, dan di Sedudo yang letaknya di Puncak Gunung Wilis.
Perjuangan tersebut ditujukan guna memerangi Pemerintah Belanda yang sedang ikut mengendalikan pemerintahan di Kasultanan Surakarta.
Dasar pemikiran yang melatarbelakangi hijrahnya Ki Ageng Ngaliman dari Solo ke Nganjuk adalah karena Nganjuk merupakan wilayah Kasultanan Mataram sehingga juga berguna untuk menghindari kecurigaan maka Ki Ageng Ngaliman melatih prajuritnya menetap di daerah Nganjuk yang merupakan wilayah kasultanan Mataram.
Sehingga terjadilah kepercayaan bahwa siapa saja yang menyebut nama Kyai Ageng Ngaliman akan mati dimakan binatang buas sebab memang beliau dirahasiakan namanya agar supaya tidak diketahui oleh Kasultanan Solo.
Dalam perjalanan waktu menurut cerita bahwa desa Kuncir asal usulnya dari murid Ki Ageng Ngaliman yang meninggal dalam perjalanan di tempat tersebut, dia adalah seorang Cina yang waktu itu cina memakai rambut yang dikuncir/dikepang sehingga tempat meninggalnya murid Ki Ageng Ngaliman tersebut di sebut Desa Kuncir.
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ki Ageng Ngaliman merupakan seorang Kyai yang mempunyai keahlian nggembleng ulah kanuragan keprajuritan.
Bagi masyarakat Ngliman, karomah yang dirasakan sampai saat ini adanya ketentraman dan kedamaian dalam kehidupannya.
Mengingat Ki Ageng Ngaliman yang mempunyai keahlian neggembleng ulah kanuragan keprajuritan maka banyak pusaka yang ditinggalkan oleh Ki Ageng Ngaliman masih mempunyai peninggalan berupa tanah di depan Masjid Ngaliman sehingga oleh perangkat dusun waktu itu tanah tersebut dibangun sebuah tempat yang disebut dengan Gedong Pusaka dan peninggalan pusakanya Ki Ageng Ngaliman di tempatkan, di Gedong pusaka tersebut.
Sebenarnya pusaka Ki Ageng Ngaliman cukup banyak, tetapi ada yang dicuri orang sehingga yang ada di Gedong Pusaka saat ini hanya ada beberapa pusaka.
Berdasarkan nara sumber dari Ngliman, bahwa yang berada dan disimpan digedong pusoko antara lain :
A. Kyai Srabat (Hilang tahun 1976)
B. Nyai Endel (Hilang tahun 1976)
C. Kyai Berjonggopati (Hilang tahun 1949 saat klas Belanda kedua)
D. Kyai Trisula (Hilang tahun 1949 saat klas Belanda kedua)
E. Kyai Kembar
F. Dalam bentuk Wayang antara lain : Eyang Bondan, Eyang Bethik, Eyang Jokotruno, Kyai Panji, dan Nyai Dukun
G. Kamar 1 buah
H. Kotak Wayang Kayu 1 buah
I. Terbang
J. Almari tempat pusaka 2 buah
K. Tempat Plandean TumbakPada setiap bulan Suro diadakan jamasan pusaka Ki Ageng Ngaliman dan dikirap mengelilingi Desa Ngliman.
Air terjun yang ada di Ngliman sebenarnya banyak sekali antara lain :
Sedudo
Segenting
Banyu Iber
Banyu Cagak
Banyu Selawe
Toyo Merto
Tirto Binayat
Banyu Pahit
Selanjar
SingokromoSedangkan yang mudah dan bisa dikunjungi adalah Sedudo dan Singokromo, sedangkan yang lainnya seperti Banyu Cagak, Banyu Selawe, Banyu Iber hanya bisa dikunjungi dengan jalan setapak.
Adapun air yang paling besar adalah Air terjun Banyu Cagak, menurut pendapat dari Bapak Sarni (Jogoboyo Ngliman) bahwa untuk pengembangan Wisata perlu dibangun kolam renang di Ganter dan dibuatkan perkemahan.
Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan Makam Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan terletak di Desa Ngliman + 100 M ke arah timur dari Kantor Desa Ngliman.
Mbah Iro Karto maupun KH. Qolyubi berpendapat bahwa Ki Ageng Ngaliman Gedong Wetan adalah keturunan dari Gresik, menurut sejarah telah disepakati bahwa setiap pengangkatan Sultan yang dinobatkan terutama dari keturunan Demak harus mendapat restu dari keturunan Giri Gresik.
Hal ini disebabkan karena sewaktu kerajaan Majapahit runtuh, oleh wali 9 yang diangkat menjadi Sultan adalah Kanjeng Sunan Giri. Setelah 100 hari setengah riwayatnya 40 hari, kesultanan dihadiahkan kepada Raden Patah.
Hal ini untuk menghindari citra bahwa Raden Patah merebut kekuasaan dari ayahnya sendiri, dengan demikian setiap pergantian Sultan Demak yang menobatkan adalah keturunan Kanjeng Sunan Giri.
Setelah kasultanan Pajang runtuh, Sultan Hadiwijoyo pindah ke Mataram, dengan kejadian ini terjadi silang pendapat didalam keluarga Giri.
Diantara keluarga yang tidak setuju dan kalah suara menyingkir ke Ngliman dan menyebarkan agama Islam di Ngliman yang kemudian dimakamkan di Ngliman Gedong Wetan, Karena beliau lebih cenderung pada keturunan Demak Asli.
Kemudian kepergian beliau ditelusuri oleh orang Demak asli bernama Dewi Kalimah yang kemudian meninggal dan dimakamkan di Kebon Agung.
Rentang waktu antara Ngaliman Gedong Wetan dengan Ngaliman Gedong Kulon terpaut waktu antara + 200 tahunan. Lebih tua Gedong Wetan, setelah Ngaliman Gedong Wetan meninggal, keluarganya diboyong ke Kudus.
Demikian hasil penelusuran sumber sejarah mengenai riwayat Ki Ageng Ngaliman yang dihimpun dari berbagai nara sumber mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi pengembangan obyek wisata religius.
Comments
Post a Comment