Tak seperti wilayah lain, Kerajaan Sunda punya posisi unik bagi Majapahit. Gajah Mada pun segan memeranginya
Gajah Mada beserta para pendukungnya mulai unjuk kekuatan. Bersama tentara Majapahit, mereka memulai serangkaian serangan ke luar Jawa.
Wilayah pertama yang diserang adalah Bali. Mpu Prapanca menyebut, raja Bali berbuat kasar, kejam, nista, sehingga perlu diperangi.
Negarakrtagama mencatat serangan terbuka pada 1265 saka (1343 M) di bawah pimpinan Gajah Mada dan Mpu Aditya (Adityawarmman), seorang kerabat Tribhuwanattunggadewi yang berdarah Melayu. Setelah perang yang lama dan melelahkan, Bali akhirnya takluk, sebelum kemudian Gurun (Pulau Lombok).
Berbeda dengan Bali, Majapahit tidak menyerang Kerajaan Sunda padahal termasuk wilayah yang dibidik Gajah Mada agar sumpahnya terpenuhi. Karenanya, Sunda menjadi salah satu wilayah yang belum mengakui kebesaran Majapahit, setelah banyak negara di Nusantara melakukannya.
Dalam Gajah Mada: Biografi Politik, arkeolog Agus Aris Munandar berpendapat, bagi Majapahit, Kerajaan Sunda punya posisi yang unik. Tak mudah bagi mereka menaklukannya sebagaimana terhadap Bali atau Lombok.
“Tak terbayang apabila armada dan tentara Majapahit harus menyerang Kerajaan Sunda,” kata Agus.
Sunda adalah kerajaan tersendiri yang bebas merdeka. Pada masa itu ada anggapan, Sunda merupakan wilayah yang harus dihormati. Tak layak ditaklukkan secara militer.
Menurut Agus dasar pemikiran itu mungkin disandarkan kepada pernyataan dalam Prasasti Raja Sri Jayabhupati dari abad 11 M. Prasasti berbahasa Jawa Kuno ini ada di wilayah Sukabumi.
Di dalamnya disebutkan gelar yang mirip dengan Airlangga, yaitu Jayabhupati haji ri Sunda (Raja Sunda). “Jadi sebenarnya raja-raja Sunda keturunan Jayabhupati sejatinya masih bekerabat dengan para penguasa di Jawa Timur dalam masa yang kemudian,” jelas Agus.
Wilayah Jawa bagian barat tempat berkembangnya Kerajaan Sunda itu juga merupakan wilayah peradaban tua. Kerajaan yang bercorak kebudayaan India pertama kali muncul di Jawa bagian barat, yaitu Tarumanegara.
Wilayah barat Majapahit itu dulunya juga ada di bawah kekuasaan Sanjaya. Raja pertama Mataram Kuno ini, berdasarkan prasastinya, merupakan yang pertama menyebarkan agama Hindu Trimurti. Agama ini terus dikenal hingga masa Majapahit.
“Sanjaya dapat dipandang sebagai penyeru agama Hindu-Saiva di Jawa, karena itu bekas daerah kekuasaannya tetap harus dihormati,” lanjut Agus.
Gajah Mada juga segan ketika mengingat wilayah Sunda sebagai wilayah yang aman dan stabil. Bahkan, ketika wilayah Timur terus menerus dilanda kerusuhan dan peperangan sejak masa Airlangga, Janggala-Panjalu, Kadiri, Singhasari, hingga masa Tribhuwanattunggadewi.
Penduduk wilayah Kerajaan Sunda tampak tidak ditakutkan dengan berbagai peperangan. Karenanya Gajah Mada khawatir jika pihaknya begitu saja menyerang Sunda dalam perang terbuka, mereka bakal kalah.
Lagipula secara politik hubungan antara Sunda dan Majapahit baik-baik saja. Hanya saja para penguasa Sunda tidak pernah mau tunduk di bawah Majapahit.
Peluang itu akhirnya datang, ketika putri raja Sunda, Dyah Pitaloka akan menikah dengan Hayam Wuruk, raja Majapahit. Sumber Pararaton, Kidung Sunda, Kidung Sundayana, dan Carita Parahyangan mencatat keberangkatan raja Sunda beserta rombongannya ke Majapahit untuk mengantar sang putri.
Inilah kesempatan Gajah Mada untuk menuntaskan sumpahnya. Dia membuat strategi politik dengan menafsirkan kedatangan orang nomor satu Kerajaan Sunda itu sebagai pernyataan tunduk. Dia meminta sang putri sebagai persembahan dari Sunda ke Majapahit.
“Dalam hal rencana pernikahan Hayam Wuruk dengan Putri Sunda sepenuhnya masalah asmara dan hubungan antara lelaki dan perempuan. Jadi, sebenarnya jauh dari muatan politik,” kata Agus.
Rombongan Kerajaan Sunda tentu saja menolak tunduk. Pernikahan pun gagal dan terjadilah Peristiwa Bubat. Kendati demikian, Kerajaan Sunda tetap tak berhasil ditaklukkan. Bahkan, kerajaan itu baru binasa 60 tahun setelah Majapahit runtuh pada 1519.
Comments
Post a Comment