TOKOH LEGENDARIS NU DENGAN KESAKTIANNYA

wartaislami.comi ~ Ilmu agama dan ilmu kanuragan atau kesaktian ibarat dua sisi mata uang untuk warga Nahdliyin--sebutan untuk warga Nahdlatul Ulama (NU). Keduanya tidak dapat dipisahkan. Sebab, seorang ulama, kiai, atau penganjur kebenaran, mesti dibekali keterampilan lebih untuk mengawal diri saat berdakwah.


Maka wajar lantas kisah-kisah kiai legendaris NU tidak jarang kali lekat dengan ilmu kanuragan. Banyak kiai NU yang di samping dikenal mempunyai ilmu agama mumpuni, pun dikenal sakti sebab mengajarkan beladiri. Sebut saja nama almarhum Kiai Maksum Djahuri atau Gus Maksum, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.

Dari tangan Gus Maksum pun lah lantas berdiri perguruan pencak silat NU, Pagar Nusa. Di samping itu, kanuragan juga diperlukan semasa pergerakan kebebasan RI guna melawan penjajah. Kisah kesaktian kiai dan santri pada masa perang kebebasan di Surabaya ialah contohnya.

Resolusi jihad NU menjadi pemicu meletusnya perang 10 November di Surabaya. Para pejuang kebebasan yang di dalamnya ada deretan pasukan Hizbullah--barisan semua santri pondok pesantren yang diajar perang guna melawan penjajahan--menjadi cerita epik untuk para santri. Contohnya ialah kisah Kiai Amin dari Ciwaringin, Cirebon, Jawa Tengah.

Berikut ini kisah-kisah kiai legendaris NU yang dikenal mempunyai kesaktian laksana dirangkum dari sekian banyak  sumber:



Gus Maksum, kiai sekaligus pendekar


Bagi penduduk Nahdliyin (sebutan guna warga Nahdlatul Ulama/NU), nama Kiai Maksum Djauhari atau Gus Maksum, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, di samping dikenal sebagai kiai pun dikenal sebagai pendekar. Sebab di samping pandai mengaji buku kuning, kiai nyentrik itu juga berpengalaman dalam seni beladiri atau silat.



Dikutip dari Buku Antologi Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah NU, Karya Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, semasa kecil Gus Maksum tidak hanya dipenuhi dengan rutinitas mengaji. Namun dia pun gemar menjelajah ke sekian banyak  daerah di Pulau Jawa guna berguru ilmu silat. Dari hasil pengembaraannya itulah beliau di masa dewasanya tampil menjadi pendekar legendaris di kalangan NU. 

Penampilan Kiai NU ini terbilang nyentrik; berambut gondrong, jenggot dan kumis panjang, bersarung setinggi lutut, menggunakan bakiak, berpakaian seadanya dan tidak santap nasi. Di kalangan dunia persilatan, beliau dikenal paling mahir dan menguasai sekian banyak  aliran silat dengan sempurna. 

Konon saking saktinya hingga rambut beliau tidak mempan dipotong, mulutnya dapat menyemburkan api, mahir menaklukkan jin, dapat melemparkan sapi seperti membuang sandal, tidak mempan disantet, tidak mempan senjata tajam, dan beda sebagainya.

Gus Maksum wafat di Kanigoro pada 12 Januari 2003. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga, sebelah barat masjid lama Ponpes Lirboyo. Kiai yang bermunculan di Kanigoro, Kras, Kediri, pada 8 Agustus 1944 tersebut juga adalahpendiri perguruan silat NU Pagar Nusa yang sekarang semakin tidak sedikit anggotanya di semua Indonesia.



Kiai Abbas Buntet, Cirebon


Tokoh sentral NU lainnya yang dikenal sakti ialah Kiai Abbas Buntet. Pengasuh Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, tersebut di samping mengajarkan buku kuning pun mengobarkan motivasi perjuangan mengenyahkan penjajah Belanda.

Kiai Abbas ialah putra sulung Kiai Abdul Jamil yang dicetuskan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 25 Oktober 1800 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan Kiai Abdul Jamil ialah putra dari Kiai Mutaad yang tak lain ialah menantu pendiri Pesantren Buntet, yaitu Mbah Muqayyim salah seorang mufti di Kesultanan Cirebon. 

Pada dasarnya Kiai Abbas ialah keturunan ulama. Karena tersebut kesatu ia belajar pada ayahnya sendiri, Kiai Abdul Jamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama, baru pindah ke Pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon di bawah pimpinan Kiai Nasuha. Setelah tersebut dia pindah lagi ke suatu pesantren salaf di wilayah Jatisari di bawah pimpinan Kiai Hasan. 

Setelah tersebut keluar daerah, yaitu ke suatu pesantren di Jawa Tengah, tepatnya di kabupaten Tegal yang dirawat oleh Kiai Ubaidah. Setelah sekian banyak  ilmu keagamaan dikuasai, selanjutnya ia pindah ke pesantren yang paling kondang di Jawa Timur, yaitu Pesantren Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan Hadratusyekh Hasyim Asyari, figur kharismatik yang lantas menjadi pendiri NU. 

Dia pun belajar ke Mekkah dan pulang bersama-sama dengan Kiai Bakir Yogyakarta, Kiai Abdillah Surabaya dan Kiai Wahab Chasbullah Jombang. Sebagai santri yang telah matang, maka di masa-masa senggang Kiai Abbas ditugasi untuk melatih pada semua mukminin (orang-orang Indonesia yang terbelakang di Mekkah). 

Bermodal ilmu pengetahuan yang didapatkan dari sekian banyak  pesantren di Jawa, lantas dipermatang lagi dengan keilmuan yang dipelajari dari Mekah, serta upayanya mengekor perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya, maka mulailah Kiai Abbas memegang tampuk pimpinan Pesantren Buntet.

Ketika mengaji Kiai Abbas melulu beralaskan tikar. Namun demikian santri yang datang berjubel di langgarnya. Mereka hadir hampir dari semua pelosok daerah. Ada yang datang dari wilayah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah bahkan pun ada yang dari Jawa Timur. Mereka bukan santri yang berkeinginan menimba ilmu agama, tetapi inilah masyarakat yang berkeinginan belajar ilmu kesaktian pada sang guru.

Dalam tradisi pesantren, di samping dikenal dengan tradisi ilmu buku kuning pun dikenal dengan tradisi ilmu kanuragan atau ilmu bela diri. Keduanya mesti dipelajari. Apalagi dalam menjalankan tujuan dakwah dan berusaha melawan penjahat dan penjajah. Kehadiran ilmu kanuragan menjadi suatu keharusan.

Oleh karena tersebut ketika usianya mulai senja, sedangkan perjuangan kebebasan saat tersebut sedang mengarah ke puncaknya, maka pengajaran ilmu kanuragan dirasa lebih mendesak untuk menjangkau kemerdekaan. Kiai Abbas mulai merintis perlawanan dengan mengajarkan sekian banyak  ilmu kesaktian pada masyarakat.

Dengan mengajarkan ilmu kanuragan tersebut maka pesantren Buntet dijadikan sebagai markas pergerakan kaum Republik guna melawan penjajahan. Mulai saat tersebut Pesantren Buntet menjadi basis perjuanagan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam deretan Hizbullah.

Kiai Amin, Ciwaringin

Kiai NU beda yang pun dikenal mempunyai karomah ialah Kiai Amin bin Irsyad atau lebih akrab dikenal sebagai Kiai Amin Sepuh. Lahir pada hari Jumat, 24 Dzulhijjah 1300 H, bertepatan dengan tahun 1879 M, di Mijahan Plumbon, Cirebon, Jawa Barat. Konon Kiai Amin tergolong ahlul bait, dari silsilah Syech Syarif Hidayatullah.

Seperti tradisi kiai-kiai NU lainnya, semasa kecil dia pun belajar ilmu agama dari satu pondok pesantren ke pesantren lainnya. Di samping belajar ilmu agama, dia pun belajar ilmu kanuragan dari bapaknya sendiri, Kiai Irsyad yang wafat di Mekkah. Kemudian, sesudah dirasa lumayan menguasai dasar-dasar ilmu agama dan ilmu kanuragan dari sang ayah, beliau dialihkan ke pesantren Sukasari, Plered, Cirebon di bawah asuhan Kiai Nasuha. 

Setelah tersebut dia pindah ke pesantren di Jatisari di bawah tuntunan Kiai Hasan. Kemudian belajar ke Pesantren Kaliwungu Kendal, ke Pesantren Mangkang Semarang, ke Pesantren Bangkalan Madura di bawah asuhan Kiai Cholil. Di Bangkalan dia di bawah tuntunan Kiai Hasyim Asyari, yang mana pada waktu tersebut Kiai Hasyim masih tahassus (menyimak dan mencari pemikiran) untuk Kiai Cholil. 

Ketika Kiai Hasyim kembali dan melatih ke Tebuireng, Kiai Amin juga ikut bertahassus ke sana. Selanjutnya Kiai Amin belajar ke Mekkah. Berikutnya Kiai Amin menimba ilmu untuk Kiai Ismail bin Nawawi di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Setelah menuntaskan tahassus, lantas dinikahkan dengan keponakan Kiai Ismail.

Sehingga sepeninggal Kiai Ismail, Kiai Amin kemudian meneruskan melatih di pesantren. Pada masa penjajahan, pesantren tidak jarang kali menjadi basis perlawanan. Para santri menyebarkan informasi dari satu lokasi ke lokasi lain, dan tak jarang pula mereka menjadi garda depan melawan penjajah.

Di samping dikenal sebagai ulama, Kiai Amin pun dikenal sebagai pendekar yang menguasai ilmu bela diri dan kanuragan. Ada cerita di kalagan penduduk Ciwaringin, dalam peperangan 10 November 1945 di Surabaya, Kiai Amin dan ulama beda di Cirebon ikut mengirim laskar ke Surabaya. Bahkan Kiai Amin sendiri ikut berangkat serta turut mengusahakan pendanaan untuk ongkos keberangkatan. 

Kiai Amin ini untuk warga Nahdliyin paling legendaris. Konon dalam perang di Surabaya tersebut dia tidak mempan senjata maupun peluru ketika bertempur. Bahkan, dia pun dikabarkan tidak mati meskipun dilempari bom sejumlah 8 kali.

Karomah Kiai Hamid, Pasuruan


Kiai Hamid Abdullah Basayban, Pasuruan, Jawa Timur, pun dikenal sebagai kiai NU yang mempunyai karomah. Suatu saat di masa Pemerintahan Orde Baru, Kiai Hamid disuruh masuk ke partai pemerintah. Namun dia menyambut anjuran itu dengan ramah dan menjamu tamunya dari kalangan birokrat itu. 

Namun saat surat persetujuan masuk partai pemerintah tersebut disodorkan bareng pulpennya, Kiai Hamid tetap menerima dan menandatanganinya. Anehnya pulpen yang disodorkan guna tandatangan itu tidak dapat keluar tinta alias macet. Lalu digantilah dengan pulpen lain, namun tetap tak mau terbit tinta dan seterusnya.



Karomah Gus Dur


Terakhir ialah Kiai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Semua penduduk NU tentu mengenal tokoh satu ini sebab pernah menjabat sebagai presiden. Namun demikian, di samping dikenal sebagai kiai yang mengajar buku kuning, Gus Dur pun dikenal sebagai politisi, budayawan, dan seniman. Bahkan Gus Dur pun dikait-kaitkan dengan kesaktian.

Dalam sekian banyak  cerita, Gus Dur disinggung mempunyai karomah, salah satunya dikisahkan Khoirul, sopir individu Gus Dur. Dikutip dari www.nu.or.id, cerita kesaktian Gus Dur ini dirasakan waktu di jalan raya.

Suatu ketika, ia sedang sedang di Majenang Cilacap mengantar Gus Dur dan sejumlah orang anggota regu dalam dua mobil. Saat tersebut sudah jam 12 siang dan Gus Dur menyuruh pulang sebab di lokasi tinggal ada tamu yang mesti ditemuinya pada jam 13.00.

Ia juga segera putar arah dan mobil regu di belakang mengikutinya di belakang. Karena telah ada janji, ia ngebut, namun tak yakin dapat segera hingga di Ciganjur, lokasi tinggal Gus Dur tepat waktu. Ia berpikiran, paling-paling dapat sampai di Jakarta pukul 3 atau 4 sore menilik jaraknya paling jauh. Rute yang mesti dilewati masih paling jauh sebab harus melewati area Puncak yang jalannya kecil, berliku-liku dan naik turun. Apalagi saat tersebut belum terdapat Tol Cipularang.

Ia juga tetap menggeber mobilnya secepat yang dapat ia lakukan. Mobil regu satunya di belakang tidak kelihatan, tampaknya telah jauh ketinggalan. Singkat kata, sampailah mobil tersebut di lokasi tinggal Gus Dur dan ia merasa lega selamat hingga di rumah. Ia menengok jam tangannya. Angka yang masih diingatnya hingga sekarang, "pukul 13.12 menit". Jakarta Cilacap melulu ditempuh dalam masa-masa 1 jam lebih sedikit.

Dan Gus Dur tidak terlambat menerima tamunya yang pun baru saja sampai. Rombongan mobil di belakangnya baru hingga di Ciganjur pukul 16.30, lain empat jam lebih dari perjalanannya.

Sumber : wartaislami.com

Comments